TUNA JIWAKU, GIGIH PERJUANGANKU
oleh: Mariza Putri
Langit
masih gelap saat diriku terbangun untuk memulai tanggung jawab atas keluargaku.
Aku adalah Hasim, kini usiaku memasuki
55 tahun. Aku memang tidak sekolah, aku hanya bisa meraba untuk melihat isi
dunia ini. Aku selalu bersyukur kepada Tuhan yang masih baik terhadap ku, masih
membiarkan ku hidup hingga saat ini karena perjuangan ibuku. Hidupku mungkin
bisa saja hilang saat usiaku 2 tahun, diriku sangat mengerti bukan anak seperti
akulah yang diharapkan oleh bapakku.
Kebaikan
Tuhan yang datang pada ku masih tidak berhenti diri-Nya menitipkan malaikat
untuk agar aku dapat melihat dunia lebih indah. Aku bertemu dengan sriyanti,
sekitar 22 tahun yang lalu aku yakin untuk meminangnya menjadi istriku yang
selalu mendapingiku hingga saat ini. Pagi bagiku adalah saat dunia masih gelap.
Aku bangun membantu istriku berbelanja untuk kebutuhan warteg kecil depan rumah
yang kami. Setelah usai bebelanja, kami memasak didapur yang bertungku
kayubakar. Asap mengepul di dapur tanda api sudah panas dan bahan siap dimasak,
kami yakin masakan ini adalah awal rezeki. Sembari istriku memasak aku pergi ke
kebun milik tetangga belakang untuk mencari kayu bakar. Terdengar suara adzan
subuh sudah berkumandang, segera bergegas aku bersiap untuk pergi ke masjid
depan rumah kami. Seuisai kembali dari masjid aku membantu istriku merapihkan
warteg kami, aku bisa karena aku terbiasa melakukannya.
Langit
luar sudah mulai meninggi, ini adalah saatnya aku untuk berjalan keluar mengais
rezeki atas tanggung jawabku sebagai kepala rumah tangga. Kubawa seikat kain
yang tersangkut pada tongkat di pundak kiriku, dan satu tongkat untuk menunjuk
arah. Dari restu dan doa keluargaku aku mulai melangkah dengan Bismillah. Jarak
dari kampungku menuju kota sekitar 2 km. Selama disepanjang jalan aku
meneriakan “Celana pendek... sepuluh ribu sajaa..”. Ada yang memberhentikan
langkahku, terdengar seorang laki-laki yang suaranya masih muda. “Pak saya mau
beli celana” sambil terdengar suara kendaraan yang berhenti di sampingku. Dia
berkata “Bapak jual celana apa?” ditunjukannya celana tersebut, “Harganya
sepuluh ribu saja nak, mungkin kamu membutuhkannya”. Sambil melihat celana
laki-laki tersebut mengerluarkan uang “ini pak saya beli dua” *menyodorkan uang
20rb, 10rb*. Pak Hasim bukanlah orang yang ingin dikasihani “maaf nak, ini
uangnya lebih 10”, dengan muka heran laki-laki tersebut “bagaimana bapak bisa
tahu?, tidak pak ini memang rezeki untuk bapak yang ditipkan pada saya walau
kecil”. Dengan terenyuh mendengar kata-kata laki-laki tadi akhirnya pak hasim
menerimanya “Terimakasih nak, semoga kamu selalu diberi keselamatan”.
Setelah
panjang perjalanan, pak hasim mendengar kumandang lantunan ayat alquran yang
menandakan sebentar lagi adzan zuhur akan berkumandang. Segera bergegas pak
hasim ke masjid, sembari melepas lelah dibukanyalah ikatan dipundaknya. Lalu
dirapihkannya susunan buku agama mulai dari tuntunan shalat hingga alquran.
Dirinya berharap bahwa ada orang yang tertarik untuk sekedar membacanya walau
tidak membelinya. Baginya membagi ilmu bukan hanya sekedar oleh orang yang
pintar, tetapi dapat meminjamkan buku merupakan sesuatu yang berharga.
Beruntunglah hari ini ada beberapa orang yang bersedia membeli bukunya. Adzan
zuhur sudah berkumandang, segeralah dirinya bergegas menaruh buku bacaan
braillenya dan mengambil wudhu.
Setelah
menunaikan kewajibannya, kemudian ia segera bergegas merapihkan buku-buku tadi
dan pergi kembali untuk menjajakan celana pendeknya tersebut. Dirinya tidak mau
menjual buku agama itu secara komersial, karena baginya buku agama ini adalah
untuk dibaca bukan hanya sekedar iba membeli lalu ditumpuk menjadi buku-buku
lama saja. Pak hasim lebih bahagia jika bukunya dibaca, karena alasan itulah
pak hasim tidak ingin menjajakannya jika memang tidak dibutuhkan.
Bersyukur
dengan rezeki yang didapatkanya hari ini, pak hasyim segera pulang kerumah.
Sesampainya di rumah dengan melepas letih, anaknya harum membawakannya segelas
air hangat. Pak hasim berbincang dengan anaknya harum mengenai sekolahnya yang
kini duduk di bangku kelas 3 SMA. Pak hasim mengatakan “Harum, bapak sedang
berusaha mengumpulkan uang agar kamu dapat meneruskan sekolah hingga menjadi
seorang sarjana. Jika kamu sukses kamu tidak bodoh seperti bapak. Kamu bisa
mendapatkan pekerjaan yang lebih layak”. Harum menahan matanya yang sudah mulai
berkaca “Harum berusaha pak, agar harum mendapat beasiswa. Harum ingin bapak
dan ibu bahagia saat memeluk harum memakai toga”.
Hari
sudah mulai gelap, ini adalah saatnya pak hasyim keluar untuk menjajakan
titipan dagangan yang ia dapatkan dari sebuah lembaga. Pak hasim menjual
kerupuk ikan dipikulnya berjalan mengelilingi kampungnya hingga ke kampung sebelah.
Pak hasim tidak berani untuk menjajakan daganganya ke kota jika sudah malam.
Karena hari sudah malam pak hasim menyudahi jualannya dan kembali kerumah.
Pak hasim pun merebahkan badannya di kasur kapuk. Sambil
memejamkan mata pak hasim bertekat “Memang gelap hariku, memang tuna jiwaku
hingga renta. Tapi gigih perjuangaan ku tanggung jawabku, masa depan anakku”.
Aku hanya ingin terus bersyukur hidup keluargaku, hidup anakku akan terus aku
perjuangkan agar tidak gelap gulita. Akan selalu aku bawakan lentera harapan
pada mereka, akan terus aku tanamkan kebaikan pada jiwa hingga mengakar. Keterbatasan
dalam pengelihatan, bukanlah menjadi suatu momok penghalang baginya untuk terus
mengais rezeki dengan cara halal. Aku hanyalah orang bodoh yang bisa berkata
kemanusiaan.